Dari Sebuah Mimpi Buruk



Cerpen oleh Ryza Putri Maharani.

Aku Ridwan. Pria biasa-biasa saja yang hidup di hiruk-pikuk ibukota Jakarta. Aku tinggal bersama Nadin, wanita luar biasa yang mengerti segala isi pikiranku. Kami tinggal di sebuah apartemen kecil dengan ruangan bernuansa coklat, warna kesukaan Nadin sejak kecil. Sudah 5 tahun kami tinggal bersama, sejak masing-masing dari kami bergelar sarjana. Aku adalah pegawai bank di kawasan Sudirman, sementara Nadin adalah seorang guru sejarah sekaligus anggota orkestra musik klasik. Kami hidup selaras dan bahagia. Hal apapun yang kulakukan bersamanya,itulah yang membuatku merasa bebas.
Jika kalian berandai-andai mengapa aku memilihnya, biar aku jelaskan. Nadin, pribadinya selalu membuatku terpukau. Layaknya kupu-kupu cantik, ia terbang bebas kemanapun ia mau. Nadin selalu menjiwai segala yang ia lakukan. Dia selalu berusaha melihat sesuatu dari sisi baiknya. Nadin luwes dan rendah hati, senyumnya manis dan tawanya renyah. Disaat semua orang memanggilku kutu buku karena bacaanku yang tak kunjung habis, dia selalu disana untuk mengerti. Kami selalu membaca buku besama. Nadin tak hanya membaca satu jenis buku saja, namun kesukannya tetaplah tulisa Lang Leav dan syair-syair Dante Alighieri. Lidahnya tak pernah kelu menuturkan betapa cintanya dia pada setiap karya tulis yang ia baca. Tentu aku tak bias mengelak, aku hanya bias tersenyum sambil melihatnya berbicara dengan semangat. Intinya, jiwa Nadin adalah yang paling cantik sedunia.
Suatu hari, kutemukan ia sedang menangis di balkon. Pipinya sangat merah,air mata tak kunjung berhenti mengalir dari matanya. Aku menghampirinya, dan lekas menggapai punggungya untuk kupeluk. Kuusap rambutnya dengan lembut, lalu kutuntun Nadin agar nafasnya yang semula terengah-engah menjadi seirama dengan nafasku.
“Nadin, kenapa?”
“Aku…takut.”
“Kenapa?”
Nadin tak menjawab. Aku tetap memeluknya. Bisa kurasakan raganya lelah. Ia tetap terdiam dalam pelukanku, matanya membengkak karena terlalu lama menangis. Aku tetap diam, berusaha menahan segala rasa penasaranku dan berhenti menghujaninya dengan pertanyaan. Sang waktu tetap berjalan dengan semestinya dan Nadin pun terlelap, masih dalam pelukanku. Kuangkat tubuhnya dan segera ia kupindahkan ke sofa ruang tamu, tempat favoritnya untuk sekedar mendengar lagu sambil menatap kearah langit-langit. Aku berjalan kembali ke balkon, mengeluarkan sebatang rokok Gudang Garam, dan menghisapnya.
•••
Ada sesuatu diatasku.
Aku tak bisa bangun dari tempatku berbaring. Aku kesulitan bernafas. Mataku sulit terbuka. Kurasakan keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku tak bisa merasakan keberadaan kakiku. Tanganku seperti terikat oleh rantai. Aku sangat panik, aku ketakutan. Aku ingin pergi sekarang juga dari tempat menyeramkan ini. Tolong!
Penderitaanku berakhir.
Aku merasa jauh lebih lega, walaupun tubuhku terasa sangat sakit. Aku bergegas bangun dari tempat tidurku sesaat setelah kusadari tak ada yang menahan tubuhku lagi. Aku melangkah, mencari pintu untuk keluar dan pergi. Tapi kusadari, tidak ada pintu. Ini sangat gila, pikirku. Aku berusaha mencari jalan keluar. Namun semuanya sia-sia, tempat ini benar-benar tertutup, lubang udara pun tidak ada. Lalu, tempat kakiku berpijak mulai goyah. Ruangan ini seperti akan ambruk. Aku hanya bisa pasrah. Aku memejamkan mataku tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku terjatuh.
Kukira aku akan mati, tapi ternyata tidak. Aku membuka mataku sambil mengamati seisi ruangan. Ruangan ini jauh lebih nyaman, dan jauh dari kesan suram. Sinar matahari yang sangat terang menyelinap masuk melalui jendela. Sekarang sudah pagi, dan aku merasa lebih tenang. Aku baru saja ingin menangis sambil bersujud sampai akhirnya ada 2 sosok manusia berjalan menghampiriku dari jauh. Aku memanggil mereka sambil melambaikan tangan, namun tak ada jawaban yang aku terima. Aku kaget saat menyadari bahwa sosok itu adalah Nadin, dan dia berjalan bersama seorang pria yang sangat rupawan. Namun, aku tak mengenali wajahnya. Aku hanya terdiam saat melihat mereka berpelukan begitu lama. Pelukan itu tak kunjung usai, aku mulai merasakan panas dari hatiku yang membara. Aku memanggil Nadin, dan ia tak mendengarku sama sekali.
Aku menangis. Hatiku terasa perih. Kini mereka berdua berciuman didepanku. Aku berteriak sekuat yang kubisa. Namun itu tak mengubah apapun. Mereka tetap disana, bercengkrama dengan mesra. Rasanya aku ingin gila. Aku tak bisa mengendalikan diriku lagi. Tak lama kemudian, pandanganku berubah menjadi hitam. Semuanya gelap.
•••
Aku terbangun dari tidurku dan menemukan Nadin sedang duduk disampingku sambil memegang segelas susu hangat. Aku sangat bersyukur ; yang tadi itu hanya mimpi buruk. Aku segera menggapai tangannya dan memegangnya dengan erat. Nadin hanya kebingungan dan menatapku.
“Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendiri”, ujarku lemah.
•••
Hujan membasahi ibukota. Kemacetan pun semakin menjadi-jadi. Aku dan Nadin hanya bisa pasrah dan memerhatikan sekitar dari dalam mobil. Tidak seperti biasanya, Nadin hanya diam. Biasanya ia akan memutar lagu-lagu Costaroy, duo indie favoritnya akhir-akhir ini. Tapi kali ini, dia hanya diam sambil menatapi butiran air yang kini menghiasi kaca mobil akibat hujan derasyang tak kunjung henti. Baru saja aku ingin membuka obrolan, ia membuka mulutnya dan berbicara dengan suara yang sangat pelan.
“Aku takut.”
“Takut kenapa?”
“Beatrice Portinari.”
Aku segera mengingat nama itu. Beatrice Portinari, cinta sejati Dante. Hanya sedikit hal yang kuketahui tentangnya. Dia adalah inspirasi Dante dibalik karyanya yang berjudul La Vita Nuova. Namun sayangnya, takdir berkata lain. Beatrice pergi meninggalkan Dante, dan menikah dengan pria lain. Sialnya juga, ia meninggal saat melahirkan anak pertamanya.
“Ada apa dengan Beatrice?”
“Aku takut..jadi Beatrice.”
Dia menatapku. Ada sesuatu yang tak biasa darinya. Namun aku segera mengusir segala pikiran buruk, ditambah lagi mimpiku tempo lalu yang sangat mengerikan. Aku segera mengganti topik obrolan dan mengajaknya untuk hadir ke pameran sebagai cara untuk melepas penat.
“Bagaimana kalau besok kita ke pameran lukisan? Aku punya 2 tiket.”
“Dimana?”
“Erasmus Huis. Bagaimana, bisa, kan?”
Nadin cuma diam. Ia seperti tidak tertarik.
"Kamu ada masalah apa akhir-akhir ini?"
Ia tetap tak bersuara. Bayangan-bayangan mimpi burukku kembali menghantui. Semuanya masih sangat jelas ; bagaimana Nadin terlihat bahagia bersama orang lain, namun aku tak dapat melakukan apa-apa untuk mengubahnya. Aku sangat yakin, pasti ada alasan dibalik heningnya Nadin saat ini. Ia mungkin bukan orang yang banyak bicara, tapi diam bukanlah hal yang biasa darinya.
"Aku baik-baik aja. Aku ingin istirahat yang cukup, berlama-lama di kamar tanpa kenal waktu."
Aku hanya mengangguk paham. Kuraih tangannya yang mulai dingin karena pengaruh cuaca, lalu kugenggam dengan hangat. Mungkin Nadin memang butuh istirahat yang cukup. Akan lebih baik jika hari Minggu besok ia beristirahat.
Disaat yang sama, aku berusaha mengusir bayangan mimpi burukku yang enggan pergi.
•••



Kata-kata itu terus mengusik perasaanku.
Sangat sulit untuk melupakannya. Rasanya seperti ada yang menyayat tanganmu dengan pisau tajam. Perih, terlampau perih. Aku tahu, aku bisa saja mengungkapkannya agar setidaknya perasaanku bisa lega daripada harus menahannya sendirian. Tapi kali ini tidak mungkin. Aku tak ingin menganggu pikirannya, aku tak ingin merusak hatinya. Bukan cuma aku yang kesulitan akhir-akhir ini, ia pun merasakan hal yang sama. Aku juga tidak bisa menyanggah kata-kata itu, karena semua benar adanya. Tiba-tiba, aku teringat akan apa yang terjadi tempo lalu.
"Nadin, mau sampai kapan? Mau sampai kapan kamu terpuruk begini? Kami sudah baik sama kamu, membiarkanmu memilih jalan hidup yang kamu. Kami tidak menentang pilihanmu saat kuliah. Kami juga tidak pernah protes tentang pekerjaan dan kesibukanmu. Tapi kamu sudah kelewat batas, ini saatnya kamu mencari pendamping hidup. Oh, tentu jelas, bukan si Ridwan keparat orangnya. Kami tau yang terbaik untukmu, Din."
"Mama, aku gak paham.."
"Kamu harus pulang, Din. Segera keluar dari apartemen konyol itu. Untuk apa kalian tinggal seatap tanpa hubungan yang jelas, Mama sangat yakin orang awam pun akan berpikiran buruk tentangmu. Belum menikah, tapi sudah tinggal serumah. Mama tidak bisa terus-terusan menutupinya. Kau tau kan? Bapakmu itu tidak pernah peduli? Kau tau juga kan? Saudara-saudaramu sudah asik dengan dunianya sendiri? Mama harap kamu mau mengerti dan pulang kembali. Kalau satu waktu saya jadi orang gila dan bunuh diri, maka penyebab utamanya adalah kamu yang tidak tahu diri."
"Kalau itu alasannya, aku akan membahasnya dengan Ridwan, Ma."
"Lalu apa? Kamu akan meminta-minta dia  untuk menikahimu? Tidak! Mama tidak akan pernah sudi akan hal itu. Masih banyak pria diluar sana yang jauh lebih baik dan bermartabat dibanding si sinting itu. Apapun yang terjadi, suka atau tidak suka, kamu harus pulang."
"Dia tidak seburuk itu, Ma! Mama harus tau kalau dia mencintaiku apa adanya.."
"Peduli setan dengan cintamu itu. Kalau dia benar-benar cinta dan menghargaimu sebagai seorang perempuan yang dikasihinya, maka seharusnya dia menghadap kami sejak dulu. Bukannya tinggal bersamamu begitu saja tanpa meminta restu. Memangnya dia pernah ke rumah untuk menemui kami, hah? Tidak."

Mama membanting telepon dengan kasar. Aku kehilangan kata-kata. Aku merenungkan semua yang terlontar dari mulutnya tadi.

"Nadin?"
Aku tersontak kaget. Suara Ridwan menyadarkanku dari lamunan panjang. Dia mengusap kepalaku sambil menenggak kopi hitam kesukaannya. Setelah menaruh gelas kopinya, ia memelukku. Namun, aku mengelak. Aku hanya terdiam. Pandanganku lurus satu arah menuju balkon. Bisa kurasakan pandangan mata Ridwan yang menusuk punggungku.
"Katakan padaku."
"Tentang apa?"
"Tentang semuanya, Nadin."
"Tidak ada apa-apa."
"Tapi kamu berubah! Jelas sekali!"
Suara Ridwan naik satu tingkat. Aku berusaha tegar. Tak pernah Ridwan marah padaku, tak pernah suara keras keluar dari mulutnya. Aku berusaha tidak peduli. Aku berusaha melupakan suaranya tadi.
"Kenapa, Din?"
"Ridwan, sekarang bukan waktunya."
"Bukan waktunya? Kenapa?!"
Ridwan kembali membentakku. Aku mengepalkan tanganku, menahan semua rasa takut.
"Nanti kita cerita tentang hal ini. Tapi tidak sekarang, Ridwan."
"Lalu sampai kapan kamu mau diam? Mau sampai kapan? Mau sampai kapan kamu tidak peduli?"
"Tidak peduli bagaimana?"
"Tiap aku tanya, kamu cuma diam. Awalnya aku kira kamu memang sedang lelah, tapi ternyata kamu menjauh. Kamu tidak peduli."
Aku mulai merasakan panas dari dalam hati. Bisa-bisanya ia bilang aku tidak peduli. Tentu aku tidak terima.
“Kalau seperti itu pengertian tidak pedulimu, maka kamu orang yang paling jahat yang pernah aku kenal, Ridwan. Dibanding aku, kamu jauh lebih tidak peduli. Kenapa? Karena kamu membiarkan aku begitu saja. Kamu membiarkan hubungan ini tak berarah. Kalau kamu peduli, kamu akan melamar aku dan bertemu pada orangtuaku dari dulu!”
Ridwan hanya terdiam. Aku masih kesal, nafasku tidak teratur. Air mata keluar dari mataku. Aku mulai menangis. Tapi Ridwan tetap berdiri tak mengeluarkan suara, dia memberiku tatapan tidak percaya.
“Apa kamu ingin menyanggah?” ujarku berusaha terlihat kuat.
Namun, Ridwan tidak berkata apa-apa. Dia masih disana, berdiam diri bagaikan patung. Kemudian, ia pergi meninggalkanku. Ia membanting pintu dengan keras. Aku mengambil nafas panjang, sambil berusaha menenangkan diriku.
•••
Sudah 2 minggu sejak kami bertengkar, dan semuanya masih belum membaik. Tak ada lagi Nadin yang akan menungguku pulang sambil mendengar lagu di sofa ruang tamu. Tak ada lagi Nadin yang memberiku semangat disaat aku mendapat tekanan dari bankir senior di kantorku. Tak ada lagi Nadin yang mau menemaniku membeli buku, kapan pun aku mau. Semuanya berantakan begitu saja.
Jam tanganku menunjukkan pukul 9 malam. Aku berjalan menyusuri lorong apartemen yang tetap terang sehingga tidak ada kesan menyeramkan yang timbul. Aku membuka pintu, dan pandanganku langsung tertuju kepada Nadin yang tertidur dengan posisi duduk di kursi ruang makan. Tas biola pun masih ada di punggungnya. Nadin tidur dengan seragamnya. Aku sangat yakin dia kelelahan sampai lupa menaruh barang-barangnya dan mengganti baju. Dia tidur dengan sangat pulas, aku tersenyum sedih melihat wajahnya. Aku melepas tas biolanya, dan segera membawanya ke kamar. Karena kantuk belum menyerangku, aku memutuskan untuk duduk di balkon, sambil memandangi Jakarta dan segala keramaiannya.
                                                                        •••
Aku terbangun dan menyadari bahwa aku tidur semalaman di balkon. Aku segera bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap-siap pergi ke kantor. Aku membuka pintu kamar dan menemukan sebuah surat diatas kasur. Aku membacanya, dan secepat itu jugaaku sadar bahwa tulisan ini adalah tulisan Nadin.
Ridwan, maaf telah merusak segalanya. Maaf jika aku menuntut banyak, maaf jika aku mengusik kehidupanmu. Aku harus pergi. Alasan mengapa aku hanya diam adalah perkataan Mama yang benar-benar menusuk hati, tapi tidak dapat disangkal kebenarannya. Dia tidak merestui hubungan kita, dan menuntutku untuk pulang. Aku butuh waktu untuk menyendiri. Aku bukan pergi untuk menikah dengan pria lain. Aku hanya butuh waktu. Kamu tak perlu tau aku pergi kemana, tapi yang pasti aku aman. Aku akan mengunjungimu setelah semuanya membaik. Satu yang harus kamu tau, aku mencintaimu. Ridwan, terima kasih.
Aku menangis membaca surat itu. Kini mimpi burukku terwujud : Nadin pergi meninggalkanku. Namun berbeda dengan apa yang terjadi di mimpi burukku, sekarang aku bisa teriak sepuasnya. Aku tak henti berteriak meratapi hancurnya semua yang sudah kubangun dengan Nadin. Bagaimana pun, kami tak akan pernah bisa bersama lagi. Itu hanyalah omong kosong belaka.
•••
Kata ‘kacau’ adalah kata yang tepat untuk mengartikan kehidupan Ridwan sekarang. 2 tahun Nadin meninggalkan Ridwan, 2 tahun pula Ridwan terpuruk dalam kehidupannya yang berubah menjadi gelap. Ridwan berubah menjadi perokok dan pemabuk berat. Ia terancam dikeluarkan dari bank tempat ia bekerja akibat absensinya yang kacau. Hidupnya semakin tak terarah. Ia seperti terjatuh ke dalam palung yang tak berdasar.
•••
Seorang wanita sedang berjalan sambil membawa sebuah buku. Ia sedang hamil besar, namun kecantikannya tidak berubah. Ada sebuah cincin indah bermahkota berlian di jari manis tangan kanannya. Ia berjalan menyusuri lorong apartemen, dan berhenti di depan sebuah pintu bernomor 572. Wanita itu mengetuk pintu berkali-kali, namun tak ada jawaban apa-apa yang ia dapat. Setelah mengetuk pintu berkali-kali, wanita itu memutuskan untuk membuka pintu. Alangkah kagetnya ia saat menyadari bahwa pintu itu tidak terkunci.
Ia membuka pintu perlahan, berharap agar sang pemilik rumah tidak terkejut dan mengiranya sebagai seorang pencuri. Suasana apartemen itu sangat-sangat kacau, wanita itu bisa mencium bau alkohol dimana-mana. Sampah puntung rokok berserakan di lantai. Wanita itu hanya bisa meringis sambil mengelus perutnya. Ia mengarahkan pandangannya ke langit-langit, dan terdiam dengan wajah tidak percaya.
Ada tubuh yang tergantung diatas sana. Tubuh itu telah membiru dan mulai membengkak.
“Rid…Ridwan?!”
Teriaknya menggema di seisi ruangan.
•••

Jonathan
Jonathan

Previous
Next Post »